Pandangan “kerdil”

Udah lama gak ngumpul dengan semua jurusan di FT, siang ini (sabtu, 13 Agustus 2011), FT ngadain presentasi dan diskusi pemaparan tentang : “collaboration program” dengan FT di PT negare tetangge. Pemaparan program berisi: joint lecture, joint research (for joint publication), dan on the job training. Peserta lumayan pade antusias ngikutin pemaparan dari tiap2 perwakilan jurusan, sambil ngabuburit katanya. Parameter yg disampaikan juga beragam, ade yg sebenernya belom punya joint program tapi sudah menggunakan parameter internasional untuk capaiannya, pelus investigasi untuk mitra yg bakal dijoinin udah setinggi ape kapabilitasnnya. Meski rada2 kurang nyambung dengan yg diminta oleh pihak fakultas, namun lumayan dapet tambahan elmu tentang parameter menuju WCU (bukan WC Umum yeee….). Terus dari jurusan berikutnye, pemaparan tema riset yg nyaris seperti presentasi hasil penelitian dan pelatihan tentang metodologi riset, ini pun lumayan, karena nambah elmu lagi, meski juga belom seperti yg diharapkan oleh fakultas. But, show must go on, peserta ke tiga udah mulai memaparkan bentuk kerjasamanya (joint-nya), tema2 risetnya juga dah nongol. Lumayan apik juga, namun semua masih bersifat umum, tapi dah jauh lebih mantaf. Lalu dari jurusan ane sendiri, udah maparin bahan untuk lecture-nya, tema dan paper hasil riset yg bakal dijoinin, dan training yg juga sudah dibuat matriksnya. Ternyata, pemaparan sudah mendekati harapan dari fakultas. Hal yang perlu disimak dan simpulkan dari pemaparan ke-4 jurusan adalah, bahwa semua memiliki keinginan yang sama untuk “memenuhi” perjanjian kerjasama (LoI) yg udah disepakati dan ditandatangani, meski kesiapannya beda-beda. Kekhasan materi yg bakal dijoin juga sudah nampak berbasis kebutuhan jurusan masing2. Namun, ada hal yg lumayan menonjol dari hasil tersebut, bahwa rasa percaya diri nampaknya malah jadi problematika bagi para peserta diskusi. Perasaan “kerdil” lebih terdominasi, dibandingkan usaha untuk terus berbuat yang terbaik. So, emang ini dah sifatnye manusia juga, merasa “kerdil”.

Pandangan “kerdil” terhadap diri sendiri ketika kite harus kerjasame dengan pihak lain (yang di dalam kepala, kite anggap lebih ‘canggih’) selalu mendominasi. Salah satu peserta malah serius menanyakan pentingnya kerjasama tersebut, malah menganjurkan sebaiknya dengan mitra “local” saja dahulu agar menjadi sejajar. Wah? Ini memang statemen yg bikin peserta diskusi, ditengah puasa dan menahan hawa nafsu, menjadi “seger”. Heranya, kenapa harus dengan mitra local segala, dan meski ini juga diperlukan, tapi gak ada salahnya kita harus berani “memandang matahari”. Bukankah cita2 kudu digantung setinggi langit, or belajar ampe ke negeri china? Dalam era global kayak gini, kok masih sih berfikiran” “local aje dulu deh…” busyet emang. Bolehlah peserta memiliki “intelligence quotient” bagus, namun perlu diimbangi dengan “emotional quotient” yg bagus juga, belom kalo unsure “spiritual quotient” juga harus masuk, nambah perfecto deh. Jadi, meski punya IQ yg bagus namun EQ-nya gak bagus, khususnya gak-pedean alias ngerasa “kerdil” ini masalah pokok jadinya. Peserta yg bertanya tadi emang memiliki rekam jejak yg bagus IQ-nya, dan rata2 pade begitu, namun persoalan EQ yg selalu muncul ketika kite harus “thinking outside the box” atau “to collaborate” menjadi persoalan yg harus dibahas dan dituntaskan. Gimana bisa kalo perasaan “kerdil” mendominasi seorang educator memberikan motivasi buwat studentnya? Buwat dirinya sendiri saja sudah sulit mungkin, dan emang kalo terkait persoalan EQ jadinya rada2 soal kejiawaan gethu, dan biasanya juga kudu diredam sama SQ-nya. Wah? Ngomong ape gue? Kok jadi pabeulit gini. Gini aja deh, kita tidak akan pernah salah kalo memiliki keinginan dan niat untuk bertarung dengan sesuatu atau seseorang yg kita anggap jauh lebih baik dan bagus dari kita, dan emang gak ada salahnya juga berkompetisi dengan yang sederajat. Namun, semua hal bisakan dilakukan secara pararel, gak atu-atu (alias serial). Kenapa begitu?, Allah menciptakan kita dengan segala citra yg ada di dari semua ciptaanNya, dan yakin kekurangan yg muncul dari diri kita sebagai mahluk yg diciptakanNya hanya berbasis pada kita sendiri, akal dan hati. Seyakinnya, bahwa kita tidak diciptakan sebagai “orang kerdil”, yang ada hanya diri kita sendiri karena factor akal dan hati yang gak seimbang, akhirnya memiliki padangan kerdil, gawatnya adalah memandang dirinya sendiri “kerdil”. Rendah diri bukan aib atau dosa bawaan, tapi bentukan lingkungan dan aktivitas hidup dan juga cara kita memandang hidup itu sendiri. Semua bisa diubah, kalo kita terus2an mensyukuri bahwa kita diciptakan dengan segala “rasa” yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta. Gue juga gak seneng, kalo kita juga “kepedean” alias pake perasaan doang kagak main fikiran, biasanya kepedean malah jadi salah atau diketawain orang. Tetep soal akal (IQ) dan hati (EQ) kudu seimbang, dan kalo kita inget soal kita sebagai mahluk yg penuh citra (SQ) semua bisa pada jalurnya. Jalur dimana kita sebagai manusia punya manfaat untuk manusia2 disekitarnya, untuk manfaat, gak kudu juga harus memiliki embel2 atau bahan2 yg banyak, untuk manfaat kudu punya keikhlasan, bahwa apa yg ada dikita adalah bukan punya kita dan dimiliki oleh “kita-kita” lainnya, jadi kata kuncinya SI (share dan ikhlas). Untuk bermanfaat gak juga harus berposisi dimenara gading, bermanfaat seperti kalau kita sedang berjalan dan kita dengan sadar menyingkirkan beberapa batu2 di jalan yg dimungkinkan akan mencelakan orang lain, sebagai contonya. Kembali ke judul gue ini, pandangan kerdil, pada akhirnya gue harus nyimpulin, bahwa kalo kita masih memiliki pandangan seperti itu, berarti kita tidak mensyukuri apa yg sudah diciptakan dan diberikan kepada kita dari Sang Maha Pencipta. Apalagi, kalo merasa diri kerdil terus lebih seneng juga mengkerdilkan orang lainya, agar dia merasa tetep “tinggi”diantara orang2 yg dianggap kerdil. Hidup ini singkat, kalo semua harus dilakukan secara serial, kapan lagi kita bisa optimalisasi nilai2 kemanusiaan kita? Kapan lagi kita memaknai dan mensyukuri hidup ini kalau selalu merasa “kerdil”. Terakhir, rekan senior dalam diskusi itu menjawab pertanyaan rekan kita yang merasa “kerdil” tadi dengan sederhana “do the best thing that you think is able to do ( by YSG)” dan berkembang tidak hanya di dalam kotak, tapi juga di luar kotak.

[foto dari : Balawing (Foto: telegraph) web:http://www.detikhealth.com/read/2011/06/12/102610/1658409/763/manusia-terkerdil-kembali-diumumkan]

Udah akh, jadi puyeng juga. Soalnya, kadang jug ague ngerasa “kerdil” (kadang2 sih). Selamat beribadah shaum, semoga nyampe ke Idul Fitri.

————————————————————————————————

Tambahan dari KOMPASIANA (http://edukasi.kompasiana.com/2010/07/21/iq-eq-sq-dan-aq/)

IQ, EQ, SQ dan AQ

(ada 4 malah…)

Kecerdasan ialah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuanmenalarmerencanakanmemecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar.

Kecerdasan biasanya merujuk pada kemampuan atau kapasitas mental dalam berpikir, namun belum terdapat definisi yang memuaskan mengenai kecerdasan. Stenberg& Slater (1982) mendefinisikannya sebagaitindakan atau pemikiran yang bertujuan danadaptif.

Saat ini cukup popular tentang tiga kecerdasan manusia, yaitu Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional, dan Kecerdasan Spiritual. Tapi Kecerdasan Adversitas? Dalam buku sumber yang penulis gunakan sebagai rujukan tulisan ini –buku yang didapatkan dari seorang sahabat penulis yang baik hati, Bapak Kusmayanto Kadiman, terdapat banyak sekali wawasan dan pemahaman baru yang sangat menarik untuk dinikmati.

Intellgence Quotient (IQ) adalah ukuran kemampuan intelektual, analisis, logika dan rasio seseorang. Dengan demikian, hal ini berkaitan dengan keterampilan berbicara, kesadaran akan ruang, kesadaran akan sesuatu yang tampak, dan penguasaan matematika. IQ mengukur kecepatan kita untuk mempelajari hal-hal baru, memusatkan perhatian pada aneka tugas dan latihan, menyimpan dan mengingat kembali informasi objektif, terlibat dalam proses berpikir, bekerja dengan angka, berpikir abstrak dan analitis, serta memecahkan permasalahan dan menerapkan pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Jika IQ kita tinggi, kita memiliki modal yang sangat baik untuk lulus dari semua jenis ujian dengan gemilang, dan meraih nilai yang tinggi dalam uji IQ.

Emosional Quotient (EQ) mempunyai dua arah dan dua dimensi, arah ke dalam (personal) berarti sebuah kesadaran diri (self awareness), penerimaan diri (self acceptance), dan hormat diri (self respect), dan penguasaan diri (self mastery) dan arah keluar (interpersonal) berarti kemampuan memahami orang (to understand others), menerima orang (to accept others), mempercayai orang (to trust others), dan mempengaruhi orang (to influence others).

Spiritual Quotient (SQ) intinya adalah transendensi, yaitu proses penyeberangan, pelampauan, penembusan makna yang lazim, khususnya dari wilayah material ke wilayah spiritual, dan dari bentuk yang kasar ke bentuk yang sublime. Dalam hal ini hidup bukan semata-mata untuk memperoleh materi semata akan tetapi harus betul-betul dihayati sebagai serangkaian amal bagi sesama manusia dan beribadah kepada Tuhan. Sehingga tidak cukup jika kita hanya mengandalkan kecerdasan intelegensi dan emosional saja. Mempertebal iman dan taqwa kita akan membangun budi dan akhlak mulia sehingga segala sesuatu yang kita lakukan semata-mata mohon perkenan dan ridho Tuhan, sehingga apa yang kita kerjakan akan terasa bermakna, nikmat, dan kita lakukan penuh dengan suka cita, tanpa keterpaksaan belaka.

Nah, yang terakhir adalah Adversitas Quotient (AQ), pernah dengar? Menurut kamus adversity berarti kemalangan, kesulitan, dan penderitaan. AQ disini adalah kecerdasan kita pada saat menghadapi segala kesulitan tersebut. Beberapa orang mencoba untuk tetap bertahan menghadapinya, sebagian lagi mudah takluk dan menyerah. Dengan demikian kecerdasan adversitas adalah sebuah daya kecerdasan budi-akhlak-iman manusia menundukkan tantangan-tantangannya, menekuk kesulitan-kesulitannya, dan meringkus masalah-masalahnya sekaligus mengambil keuntungan dari kemenangan-kemenangan itu.

Ingin sukses dan berhasil? Cukup cerdaskah saya, anda, kita?

3 respons untuk ‘Pandangan “kerdil”

  1. Berat banget jack tulisannya, yang gue tertarik kenafe foto ayam jejer ame foto anak loe?Kagak takut kepatok loe ?

Tinggalkan komentar