Catatan Fikiran Brother TOPAN SETIADIPURA

Karena Toyota adalah Jepang..kita?

Judul Tulisan Topan S. pada tanggal 23 Agustus 2010

oleh : Topan Setiadipura, Mahasiwa Program Doctoral di TIT Jepang

blog : http://tsdipura.wordpress.com/2010/08/23/karena-toyota-adalah-jepang-kita/

Semester lalu Obara Lab.  meluluskan seorang doktor. Dr.Takezawa yang menekuni bidang direct energy untuk menghasilkan laser dari reaksi fisi merupakan doktor pertama jebolan lab Obara. Sebelumnya banyak mahasiswa master lulus dibawah bimbingan Obara Sensei yang memang masih termasuk angkatan muda dikalangan sensei nuclear dept. tokodai. Sementara itu, lab Sekimoto, -yang boleh dibilang sebagai lab induk karena dari lab itu pula lahir Obara sensei- juga meluluskan mahasiswa doktor dan seorang master. Berbeda dengan lab Obara  yang meluluskan doktor pertamanya, Dr.Ishida dari lab Sekimoto  justeru adalah doktor terakhir dari lab tersebut karena Sekimoto sensei akan pensiun dalam waktu dekat.

Yang menarik  dan menjadi bahasan postingan ini terkait tiga orang lulusan diatas, 2 doktor dan 1 master, adalah follow-up setelah mereka lulus kuliah. Takezawa-san berkarir di Mitsubishi Heavy Industry bagian reaktor tipe PWR, Ishida-san menjadi peneliti di Japan Atomic Energy Agency (JAEA) masih terkait dengan desain reaktor maju yang ia geluti pada studi doktoralnya, dan sang master berkiprah di TEPCO (Tokyo Electric Power Company) sebuah perusahaan yang mensuplai kebutuhan energi kota tokyo, yang mayoritas sumber energinya berasal dari PLTN yang berada di sekitar tokyo.

Bagi saya siklus ini begitu menarik. Menggambarkan bagaimana alur SDM yang lahir dari dunia pendidikan kemudian berkiprah dalam ‘dunia nyata’ baik langsung di industri maupun pendukung industri berupa lemlit. Ya..akhirnya anak jepang yang bersusah payah menghabiskan waktunya studi hingga melanjutkan ke post-graduate mulai mencoba untuk berkiprah di ranah lain. Untuk melanjutkan paska sarjana bukanlah hal yang mudah bagi anak jepang, banyak dari mereka -termasuk diantara tiga rekan diatas- membiaya kuliah dengan uang pinjaman yang harus mereka bayar setelah bekerja. Artinya bekerja, adalah solusi buat mereka. Namun ini bukan hanya solusi pribadi, tapi proses ini menjaga aliran SDM yang highly-educated terhadap lembaga-lembaga baik industri ataupun lemlit yang strategis secara nasional bisa terlaksana. Merekalah yang kemudian akan memperkuat lembaga-lembaga tersebut dan pada akhirnya menjaga ‘supremasi’ bangsa yang diwakili oleh lembaga2 tersebut.

Ya..jelas bahwa industri2 disuatu negara seringkali mewakili ‘supremasi’ bangsa tersebut. Jepang mendunia dengan industrinya yang mensuplai kebutuhan dunia. Pemenuhan kebutuhan masyarakat dunia terhadap transportasi tidak bisa lepas dari merk2 produk jepang seperti Toyota, Honda, Suzuki dan lainnya. Belum lagi merk Panasonic dan turunannya yang hadir di banyak rumah para penduduk dunia baik dalam bentuk kulkas, setrikaan, air conditioner atau lainnya. Merk2 inilah yang membangun jepang. Bahkan  Prof. Masatomo Tanaka mengatakan ” If Toyota is not healthy than Japan is not Healthy “..ya karena Toyota adalah Jepang.

Semangat membangun industri sebagai tonggak bangsa Jepang begitu terasa pada perusahaan2 jepang. Konosuke Matsushita (KM) salah satu inspirator besar dalam hal ini. Setelah dikagetkan oleh pengumuman Kaisar Jepang pada 15 Agustus 1945 bahwa mereka kalah dalam perang, KM mengumpulkan para petinggi di perusahaannya (Matsushita Electric Industry..yang sekarang menggurita dengan berbagai merk seperti Panasonic,National dan lainnya) dan berpesan  “We must…set ourselves to the task of rebuilding the nation. This is the supreme duty of all citizens. The company, too, in accordance with its corporate mission, must rebuild its factories and strive to increase production of household appliances as quickly as possible. This is not only our mission, but our responsibility.“[John P. Kotter, “Matsushita Leadership”,1997]

Beberapa negara lain yang juga bangkit, akan mudah kita mengenali ‘industry’ yang merepresentasikan kebangkitan tersebut. Samsung atau KEPCO (Korean Electric Power Company) menjadi simbol kebangkitan Korea Selatan. KEPCO dan konsorsiumnya membawa Korea Selatan menjadi negara pengekspor reaktor nuklir dengan penjualan pertamanya ke UEA. Tetangga kita Malaysia pun punya PETRONAS yang menjadi kebanggaan mereka…yang sekarang dengan begitu gagah mendatangi beberapa negara -bahkan negara yang dulu mengajari mereka- dan menawarkan beasiswa untuk sekola di negerinya.

Begitu pentingya industri suatu negara tentu menunjukkan semakin pentingnya menjaga asupan ‘highly qualified’ SDM ke industri tersebut, atau lembaga lain yang mendukung seperti lemlit ataupun lembaga edukasi itu sendiri.

Apa simbol kita ?

Secara nasional kita punya begitu banyak industri2 yang berpotensi untuk menjadi simbol kekuatan kita. Tentunya bukan sekedar simbol..karena memang kemajuan industri tersebut akan berdampak kepada kesejahteraan bangsa. Membawa industri nasional hingga bisa berkiprah secara internasional tentunya perlu strategi dan pengarahan kemampuan dengan tepat. Enabling Technologymenjadi salah satu kunci, disinilah koordinasi antara industri tersebut dengan lemlit atapun universitas perlu begitu erat dan efektif. Sehingga hasil penelitian iptek dari lemlit bisa diteruskan di industri hingga keluar ‘welfare-impact’-nya.  Lemlit dan universitas menjadi kunci penting kemajuan indsutri..juga menjadi cikal bakal lahirnya industri2 baru.

Kurang lancarnya alur SDM berkualitas ke industri atau lembaga pendukung tersebut menjadi salah satu masalah. Kondisi mayoritas industri dan lemlit nasional, terutama yang berplat merah, seringkali membuat para SDM berkualitas kita tak terlalu tertarik untuk gabung dan membangun dari dalam. Trend untuk “membangun industri” sebagai aplikasi dari ilmu yang diperoleh di bangku kuliah pun sepertinya belum menjadi opsi utama para ‘highly educated’ SDM. Harmoni antara pragmatisme pribadi dan idealisme untuk membangun lembaga strategis nasional sebagaimana terlihat dari tiga lulusan diatas memang agak sulit diwujudkan, banyak lubang yang perlu dibenahi…banyak yang perlu diisi. Richard Feynman -pemenang Nobel Fisika- mengatakan, “There’s plenty of rooms at the bottom “…yang menjadi masalah -terkait pembahasan kita- adalah bahwa “bermain di dasar” atau “bermain dari dasar” bukanlah hal yang menarik bagi kebanyakan kita.

Ulasan Tulisan oleh Mulya Juarsa

Pergantian SDM, Re-Organisasi, Birokrasi Bernyawa & Kepuguhan Kerja

Membaca tulisan kang Topan di atas, jelas sekali ada beberapa hal yang bisa kita simpulkan:

Bahwa alur yang menghubungkan antara pendidikan, riset (penelitian) dan industri sudah sangat jelas sekali. Ketiga elemen tersebut telah membentuk bangunan segitiga yang kokoh dan menopang keunggulan bangsa, kalo boleh saya menggambarkannya seperti di bawah ini,

Sayapun teringat sewaktu studi di Kyoto University, kira-kira 7-10 tahun lalu (tahun 2000-2003), saya ingat bahwa tema riset yang saya kerjakan adalah sempalan dari suatu proyek riset yang muncul pada industri energi nuklir. Lembanga litbang swasta (kalo gak salah, INSS) yang mendanai proyek riset tersebut. Gak tanggung-tanggung, 1 semester untuk riset saya aja dapet 3 juta yen. Belom judul riset lainnya yang ada di Lab. Heat Transport (dulu Mishima Lab.). Inipun memang tergantung dari kepiawayan si Maha Guru yang menjadi leader lab., khususnya untuk menarik hibah riset dari lembaga litbang atau industri. Biasanya parameternya akan diukur dari ketenaran Professornya sendiri. Makanya, kalau kita kerja/belajar terkadang gak mengenal waktu dan no mistake, semua projek harus tuntas tepat waktu. Ini menyangkut nama baik si Prof. Gawat kan.

Saya sih lebih tertarik mengulas apa yg sudah kang Topan sampaikan pada persoalan re-generasi SDM di Lab. dan bagaimana tempat tujuan SDM yg fresh garduate dan berkualifikasi bagus memberikan peluang yg jelas, sehingga kemampuan SDM atau kepakaran si SDM bisa terbentuk dan terus-menerus bisa berkembang. Soal industri mah, Jepang emang jagonya, jadi gak usyah di bahas.

Tulisan di atas menjelaskan, bagimana suatu Lab. di PT dengan ciri khas nama si Professor (tentunya tema2 riset akan terkait dengan keahlian si Professor), berakhir dan kemudian Lab. dengan nama baru muncul. Yang saya lihat, mereka sangat biasa menghadapi pergantian ini, kalo dibilang re-organisasinya sangat dinamis. Herannya, si professor yang pensiun biasanya masuk ke industri sebagai konsultan atau dijadikan tenaga ahli dan malah gabung dengan lembaga riset swasta. Contoh Profesor saya, Prof. Kichiro Mishima, sudah menjadi salah satu direktur riset di INSS (Instutute Nuclear Safety System). Gak hanya pindah gitu aja, mereka tetep saling berkomunukasi dan bekerja sama dengan tempatnya yang lama. Di sini lagi saya lihat, networknya makin luas dan saling kait mengkait. Bayangkan, jika di negara kita, adanya perubahan organisasi (re-organisasi) kadang diikuti dengan hiruk-pikuk dan memerlukan waktu yg ndak sebentar. Maklumlah sebagian orang masih ingin kepentingannya terwadahai, bukan untuk organisasi, tapi untuk kelanggengan jabatan atau proyek bahasanya gampangnya kelangsungan hidup. Dan kalo disuruh pindah2 paling sulit tuh. Emang saya juga pernah ngerasain, bagaimana rasanya keluar dari zona nyaman (confort zone), gak enak rasanya, meskipun gak nyaman-nyaman amat sih. Namun kudu dijalani, mau bilang apa, kalo sudah komitmen yah di jalani kalo ndak, go out from system.

Kembali ke re-organisasi yg smooth, cepat dan tepat, yang terjadi di Jepang. Itu menunjukkan kedewasaan masing-masing individu, yg sangat menarik juga, mereka sadar , jika menerima jabatan maka sudah menjadi kelajiman tidak  boleh ada sedikit kesalahan dan kudu lebih baik dari organisasi yang lampau. Makanya kalo gagal, gak heran juga, tradisi Jepang membolehkan orang untuk harakiri (bunuh diri dengan menggunakan samurai pendek, sambil duduk bersila). Terkadang saya denger, ketika mereka memperoleh tanggung jawab, selalu bilang, “komatta na” alias kacauu deh, berat banget nih, kemudian keluar lagi kalimat “yoshh” sambil mengepalkan tangan. Sadara akan tanggung jawab yg berat dan sadar bahwa semua tanggung jawab itu harus dilakukan, kalo ndak, ya harakiri aja. Seorang sensei (sebutan bagi Guru, dokter dan Asosiate/Professornya) akan selalu memiliki filial-filial (penerus2 keilmuannya) masing-masing akan memiliki keahlian dan metode yg lebih beraga, dibandingkan senseinya. Sehingga akselerasi keilmuan terjadi dengan cepatnya dan semakin lebih baik. Hubungan para murid yg suatu saat menjadi sensei dengan former senseinya juga terus terjada dengan baik, dan tidak setitikpun rasa hormat para murid berkurang kepada senseinya. Jadi, menghadapi re-organisasi jangan gamang, hadapi semua dengan apa adanya sebagai suatu proses yg biasa, Jika gak sesuai keluar saja dan cari system yang sesuai, daripada nantinya hanya jadi benalu saja.

Salah satu yang menjadikan para fresh SDM ketika masuk ke lembaga litbang maupun idustri adalah kepakaran yang terbentuk dari tema riset yang dikerjakan telah terasah dan memang merupakan kebutuhan dari perkembangan iptek dan teknologi untuk peningkatan kapasitas industri dan sistem perekonomiannya. Menarik adalah tempat-tempat yg dituju oleh fresh graduate sudah establish dan sudah siap dengan tugas-tugas untuk dikerjakan oleh pegawai barunya. Di sini lagi yg terlihat bedanya dengan kita, kita kebanyakan berhitung pada kuantitatif saja, menghitung yang pensiun dengan rasio kepegawaian, serta berapa jumlah pegawai baru yg mau direkrut. Kualitatifnya?.  Iya sih, ada beberpa institusi yg sudah menerapkan saringan masuk secara ketat, dan memang SDM yg diterima memiliki kualifikasi yg bisa diacungkan jempol. Sayang akhirnya, ketika masuk ke sistem, “tugas-tugas” atau kepastian dari tusi (tugas dan fungsi, maksudnya kerjaan pokok dari suatu unit kepakaran) belum membumi, sehingga rekan2 yg baru masuk sudah mulai “gerah” dan bisa-bisa potensi yg luar biasa ini akan menguap secara cepat, kemampuan mereka bukan bertambah, malah meluruh seiring waktu. Jadi, perlu juga mengkaitkan dengan “kepastian tujuan” dari suatu pekerjaan yg didefinsikan terlebih dahulu, kemudian dikaitkan dengan tusi tadi, terus baru dihubungkan dengan kriteria SDM dan jumlahnya. Kalo masih gak jelas, maka akhirnya yang terjadi, semua bekerja seperti di pabrik, masuk pagi pulang sore, dan awal bulan terima gaji. Miris kalo begini. Apalagi kalo ditambah dengan tujuan kerja yg kadang berubah-ubah, dikatakanlah tergantung komandol, atau definisi-definisi sasaran kerja yg boleh dianggap “ngegantung” dan hanya disimpulkan dari beberpa individu saja, wah tambah runyam deh.  Terus, ditambah lagi kepiawaian manajemen dan birokrasi yg lemah, makin ribet saja jadinya. Okelah soal reward bisa dikebelakangkan dulu (bukannya gak pengen sejahtera sih), namun “kenyaman” bekerja itu penting (bukan kenyamanan posisi atau tempat), yaitu kenyamanan ketika seseorang (fresh SDM) bisa memiliki suatu kepakaran dan kepakarannya akan terus berkembang dan itu akan dimiliki hingga dia tua alias pensiun, nah pas pensiun dia tetep laku. Bukannya sudah pensiun malah masih bolak-balik. Kalolah sudah deal dengan kontrak mau jadi SDM yg berkiprah dalam bidang tertentu, itu sudah harga mati. Di dunia ini gak ada yg kaya raya karena kerja di riset, kecuali dia dapet nobel atau pas pensiun buka perusahaan berbasis kepakarannya dan diterima pasar. Namun kalo masih di institusi dan masih terikat, yah gak ada dong yg kaya raya. Sama saja dengan di Jepang. Ukuran kaya raya disana emang laen dengan kita, namun tetep saja bukan kaya raya. So, balik aje deh ke tujuan kenapa kita milih kerjaan tertentu.

Soal pengalaman di jepang lagi, saya alami sendiri ketika masih studi disana, kinerja yg terbangun luar biasa padatnya, sampe-sampe saya hampir gak tahan dan pengen balik ke ibu pertiwi (mungkin saya termasuk orang yg memiliki budaya kerja pagi-sore kayaknya). Semuanya ALL-OUT, karena tujuan yg dituju jelas dan terang benderang, tujuan dibuat karena kebutuhan industri dan iptek yg memang gak berhenti-berenti untuk terus berkembang (sampe kiamat deh). Ditunjang dengan fasilitas (bukan duit yg dibawa pulang) riset yg sangat mapan, plus informasi perkembangan iptek terkini sedunia mudah diakses. Pihak manajemen pun tegas dan ngayomi (enggak tegas doang, alias bisanya marah-marah dan keu-keuh), bisanya yg jadi megang manajemen riset sudah pasti memiliki track record riset yg mumpuni atau sudah maha pakar-lah. Jadi, sekali lagi, tolonglah, kalo memang kita hidup di lembaga litbang, buang jauh-jauh persoalan non-teknis dan birokrasi. Meskipun saya sadar birokrasi sangat dibutuhkan sebagai kendali untuk hidupnya organisasi, tapi mbok jangan “kaku”, sebab SDM-SDM yg berkiprah, khususnya yg fresh bukan robot atau sesuatu yg bisa diatur-atur dengan mudah. Apalagi mereka dalah anak bangsa yg masuk dengan seleksi yg ketat dan rata-rata memiliki kemampuan di atas rata-rata. Semuanya akan mubazir nantinya. Jadikan birokrasi yg bernyawa.

Datang dan pergi dalam suatu organisasi adalah hal yg lumrah, dinamika organisasi juga sesuatu yg lumrah dan biasa-biasa aja, jikalau semua individu sadar dan berkomitmen dengan tujuan awal dia bekerja dan memilih jenis pekerjaan tertentu. Sebagus apapun struktur organisasi, hanya akan eksis jika masih ada komponen-komponen yg mendukungnya. Seperti manajemen yg handal, terukur dan memiliki track record yg jelas, kemudian tujuan/sasaran kerja yg jelas dan merupakan kebutuhan nasional, internasioan baik untuk ke-ekonomian maupun eksitensi negara di dalam derasnya perkembangan iptek dunia. Masak masih mau terus-terus ketinggalan dan dilecehin sama tetangga terdekat? Setelah Jepang dan China,Korea Selatan, India, terusss ke area kita, Thailand dan Malaysia sudah mulai menujukkan konsep yg jelas dan terukur. Tidak ada gading yg tak retak, memang betul pepatah kita itu, tapi jangan ini dijadikan sebagai alasan-alasan untuk lepas tanggung jawab, tentunya untuk semua komponen penggiat iptek. Jepang, masih bisa terus kita contoh, malah korsel dan india. Kemajukan dan keragaman bangsa jangan dijadilan alasan bahwa kita berbeda, bukan itu, kita malah kaya dengan kemajukan dan ide-ide. Gak ada yg jadi superman, semua kudu gotong royong dan saling isi, network nomor satu jadinya.

Semoga kang Topan dan teman-teman yg masih studi di LN, bisa kembali dengan membawa kepakaran yg siap dikembangkan untuk kemudian disebarkan di Indonesia. Nasib suatu bangsa tidak akan berubah, kecuali oleh kemauan bangsa itu sendiri. Merdeka kang.

(rada-rada  liyeur yeuh, 3 September 2010)

4 respons untuk ‘Catatan Fikiran Brother TOPAN SETIADIPURA

  1. Wah..ulasannya luar biasa nih Kang Mulya…berbagi insight dan pengalaman yang sangat berharga. Makasih banyak `diagram`nya..sangat membantu. Semoga bermanfaat bagi junior-junior seperti saya Kang..

    ” Nasib suatu bangsa tidak akan berubah, kecuali oleh kemauan bangsa itu sendiri. Merdeka kang ”

    Merdeka !
    (mugi tos teu laliyeur Kang)

  2. Sami-sami kang Topan, ceitanya sangat menginspirasi saya untuk menulis dan mengingatkan ke diri saya sendiri untuk gak berpangku tangan terus. Hehehhe, maklum hoyong istirahat wae bawaanna. Hatur nuhun.

    Alhamdulilah tos teu liyeur deui.
    Merdeka !

  3. Subhanallah….saya yang masih “IJO” dan berlendir (kayak baru lahir) menghaturkan salam takzim kepada para senior. setelah membaca tulisan diatas seperti habis Doping bandrek dan kratinnjeng …jadi ngejreng. timbul secercah harapan untuk kembali berjuang dengan segala kondisi (walau lab udah jarang dipakai, dan tusi bidang mengarah ke software yang mana software nya masih sering ngehang). semoga BATAN jadi lebih baik dalam kurun waktu 10 tahun kedepan (berharap ada leader kayak Prof ataw sensei dalam tulisan diatas) amiin….sekalian Mahaf lahir dan bathin…minal aidin wal faiizin…merdeka!!!

    1. Dear Alim, saya juga menghaturkan mohon maaf lahir dan batin. Mari kita berdoa Lim, dan harapan itu ada karena saya yakin masih ada peluru2 batan yg masih IJO dan memiliki potensi yg sangat besar. Yg penting kalo udah milih profesi tertentu, jalankan saja semua dengan sepenuh hati. Gak ada kata mundur, tetep di litbang atau di pendidikan sama saja. Merdeka…..

Tinggalkan Balasan ke juarsa Batalkan balasan